IBU MUARAL : Menemukan Wajah Kristus Di Pesisir Jakarta Utara
Gertrudis Any Rasima, merupakan sosok yang tidak asing lagi bagi umat Gereja Katolik Paroki Salib Suci. Beliau kerap disapa Ibu Muaral, lahir di Semarang, 29 Juli 1935. Beliau anak dari pasangan Belanda-Indonesia yang memiliki perekonomian yang layak. Beliau besar dan menikah di Jogyakarta. Setelah menikah beliau dan suami yang merupakan TNI Angkatan Laut, tinggal di Surabaya selama 25 tahun. Pada waktu itu bu Muaral ingin sekali pindah ke Jakarta. Namun sang suami masih menjalankan tugas, serta mengikuti pendidikan perkapalan di salah satu lembaga pendidikan di Surabaya. Tidak berselang waktu lama setelah mengungkapkan keinginannya kepada sang suami. Sang suami mengabarkan bahwa akan pindah tugas ke jakarta dan Bu Muaral ikut serta. Beliau sangat bahagia mendengar kabar tersebut. Pada waktu itu sang suami mengawasi sebuah kapal pesiar Jakarta-Medan
Setelah dua bulan di Jakarta Bu Muaral mengamati kehidupan masyarakat di pesisir pantai Cilincing. Para nelayan yang hidup dalam kemiskinan dan minimnya pendidikan. Masyarakat nelayan umumnya menetap dan tinggal di pesisir pantai. Kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut. Kebergantungan ini menyebabkan penghasilan nelayan menjadi tidak menentu karena hanya bergantung pada satu jenis pekerjaan. Antara penghasilan sebagai nelayan dengan realitas kehidupan mereka di ibu kota (pengeluaran mereka untuk kebutuhan hidup mereka) tidak seimbang.
Foto: Ibu Muaral bersama salah satu lansia di pesisir
Kualitas pendidikan masyarakat pesisir pantai Cilincing masih rendah. Tingkat pendidikan yang demikian berpengaruh besar terhadap pola hidup mereka, kecakapan dalam menghadapi berbagai persoalan hidup, dan solusi-solusi yang memadai untuk situasi tertentu. Kebanyakan masyarakat pesisir pantai Cilincing menamatkan sekolah hanya sampai di tingkat SMP. Mereka memang menyadari bahwa pendidikan bagi anak penting akan tetapi kesadaran itu tidak didukung oleh kenyataan hidup mereka yang terhimpit oleh persoalan ekonomi.
Rendahnya kualitas sumber daya manusia masyarakat Cilincing pesisir pantai menyebabkan mereka sulit untuk melihat orientasi terhadap masa depan. Mereka tidak begitu memperhatikan harta kekayaan, kemewahan hidup maupun higienitas tempat mereka hidup. Keinginan para nelayan sederhana yaitu makanan, pakaian, dan rumah terpenuhi sekalipun masih memakai sistem kontrak rumah.
Bu Muaral menggambarkan situasi masyarakat pada saat itu sangat memperihatinkan: orangnya kumuh- kumuh, bau, tempat tinggalnya sangat tidak layak, atap rumah masih dari alang-alang, dindingnya dari anyaman bambu, tidur di tempat seadanya di antara barang-barang yang ada di rumah, makanan seadanya asal ada (maka tidak heran anak-anak di pesisir pantai Cilincing mengalami kekurangan gizi), anak-anak tidak sekolah.
Foto: Ibu Muaral (kanan) bersama salah satu ibu di pesisir (kiri)
Hati beliau tergerak melihat situasi seperti ini, kemudian membicarakan hal ini kepada beberapa rekannya untuk membantu masyarakat dan para nelayan di pesisir pantai Jakarta Utara ini. Oleh karena juga aktif di Gereja Katolik Salib Suci, beliau mengutarakan keprihatinannya kepada gereja. Untuk menyikapi situasi ini bu Muaral bersama romo Bob dan para suster membentuk sebuah karya sosial Paroki untuk membantu para nelayan di pesisir Jakarta Utara ini pada tahun 1978
BERITA TERBARU
Foto: Ibu Muaral dan beberapa rekan dalam Karya Sosial Lumba-Lumba
Karya ini terus berlanjut meskipun terjadi pergantian gembala paroki. Romo Wartadi, CM yang menggantikan romo Bob tahun 1980 mengembangkan karya sosial ini. Pada awalnya karya sosial ini belum memiliki nama, kemudian setelah berjalan beberapa waktu barulah memikirkan nama yang cocok untuk karya sosial ini. Oleh karena karya pelayanan ini ditujukan bagi para nelayan dan masyarakat di pesisir pantai maka di beri nama Lumba-Lumba. Lumba-Lumba merupakan ikan laut dalam kehidupannya selalu mengedepankan persahabatan, kebahagiaan, solidaritas dan kehidupan bersama. Dalam menjalankan karya Sosial ini Romo Wartadi berpesan kepada Bu Muaral agar tidak mengkristenkan mereka atau mendidik mereka dengan agama Katolik. Tugas utama karya Lumba-Lumba adalah mengentaskan para nelayan dari kemiskinan dan memberantas kebodohan.
Karya- Karya Sosial Lumba-Lumba antara lain memberikan pendidikan baca tulis untuk anak-anak, pelayanan kesehatan dan posyandu bagi ibu, pemberian gizi balita (gizi yang tidak baik akan mengurung mereka pada kebodohan) serta pendidikan moral kepada para ibu rumah tangga. Semakin lama Karya Sosial Lumba-Lumba semakin berkembang hingga saat ini.
Foto: Ibu Muaral mengunjungi lansia yang sedang sakit
Pada waktu itu Bu Muaral mendapatkan dukungan penuh dari sang suami untuk terus menjalankan tugas dalam pelayanannya. Namun, Tuhan berkehendak lain, sang suami mendahului beliau menghadap Sang Maha Kuasa. Berselang beberapa waktu kemudian sang anak satu-satunya juga dipanggil Tuhan. Tinggallah beliau sendiri. Beliau tinggal disebuah perumahan yang cukup mewah bersama 4 ekor anjing kesayangan beliau. Mengingat semakin hari kesehatan semakin menurun karena faktor usia, datanglah sahabat beliau yaitu Bruder Petrus Partono PSS, yang merupakan seorang Direktur Karya Sosial Atmabrata yang juga merupakan Karya Sosial di bawah naungan Paroki Salib Suci. Br. Petrus meminta beliau tinggal di sebuah Rumah Lansia milik Atmabrata, agar beliau tidak hidup sendiri dan mendapatkan perawatan yang layak. Pada awalnya tawaran tersebut ditolak oleh Bu Muaral, setelah memikirkan untuk ke depannya dan berkonsultasi dengan pastor paroki, akhrinya beliau menyetujui. Saat ini Bu Muaral ini menghabiskan masa tua beliau di Rumah Lansia II milik Atmabrata. Di rumah Lansia Atmabrata II beliau bisa melanjutkan pelayanannya dengan hadir sebagai sahabat bagi para lansia yang tinggal di sana. “Saya ingin bersahabat dengan semua orang” demikian ujar bu Muaral. Persahabatan ini memberikan kebahagiaan tersendiri bagi beliau. Bersahabat dengan kaum miskin membuka mata hati dan iman Bu Muaral, mengapa Yesus hadir untuk mewartakan kabar gembira kepada Orang Miskin. Penderitaan sesama membuka martabat sesungguhnya manusia di hadapan Tuhan. Bersahabat dengan orang miskin berarti bersahabat dengan Tuhan sendiri. Bu Muaral tidak saja membawa Tuhan bagi sesama tetapi beliau juga menjumpai Tuhan yang hadir dalam hidup sesama terutama yang miskin dan malang.