Fr. Wenan
Tetap Bertekad Menjadi Imam Meski Ditentang Keluarga
Panggilan menjadi imam bisa datang dari pengalaman-pengalaman sederhana. Hal itu yang dialami Fr. Wenan. Ketika duduk di kelas 4 SD, saat ia mengikuti Misa Harian, ia bertemu dengan salah satu pastor berperawakan gemuk dan berjanggut. Waktu bersalaman, si pastor menyentuhkan tangan Fr. Wenan ke janggutnya. Fr. Wenan terkesan dengan keramahan si pastor. Dari situ ia menilai bahwa seorang imam itu baik. Pengalaman sederhana itu rupanya membangkitkan keinginan dalam diri Fr. Wenan untuk menjadi imam.
Tidak hanya dari peristiwa itu, sapaan Tuhan kepada pria bernama lengkap Albertus Adiwenanto itu pun kerap terjadi. “Ketika komuni pertama, saya merasa sangat tersentuh ketika berbaris saat menerima Tubuh Kristus untuk pertama kalinya,” ujar Fr. Wenan.
Sapaan Tuhan yang dialami berkali-kali itu, membuat Fr. Wenan membulatkan tekad untuk menanggapi panggilannya menjadi imam. Saat kelas 6 SD, untuk pertama kalinya ia menyatakan niatnya menjadi imam kepada orangtuanya. Namun saat itu orangtuanya tidak terlalu menggubrisnya. Bisa jadi itu dikarenakan usia Fr. Wenan yang masih anak-anak.
Menginjak SMP, tanpa disengaja, Fr. Wenan mengikuti Seminar Hidup Dalam Roh (SHDR). Ia ikut SHDR karena ajakan kakak pembimbing kepemudaannya. “Saya awalnya tidak tahu itu seminar apa. Saya tanya kakak pembimbing kepemudaan, katanya saya cuma mau diajak makan.” Dari seminar itu, Fr. Wenan semakin menyadari bahwa pengorbanan Yesus di kayu salib sangat besar bagi manusia.
Sukacita yang kurang penuh
Ketika beranjak SMA, ia kembali mengutarakan niatnya untuk menjadi imam kepada orangtuanya. Lagi-lagi orangtuanya tidak menanggapinya. Mereka malah meminta agar Fr. Wenan menjadi dokter. “Saat itu saya disuruh menjadi dokter oleh orangtua saya. Akhirnya, saya membuat perjanjian dengan orangtua. Okelah saya menjadi dokter, tetapi begitu pendidikan dokter selesai, saya akan tetap masuk seminari untuk menjadi imam.” Waktu itu, Fr. Wenan sedang menjalin kasih dengan seorang gadis, tetapi ia tetap berniat menjadi imam.
Sesuai perjanjian tersebut, Fr. Wenan menjalani kuliah kedokteran. Namun karena itu bukan keinginannya, ia merasa berat menjalaninya. Ia sering menghabiskan waktu untuk bermain ketimbang kuliah. Parahnya lagi, ia kerap membagikan film dewasa kepada teman-temannya. “Saya merasa kurang memiliki sukacita di masa-masa itu. Kehidupan saya kosong,” ujar anak kedua dari dua bersaudara itu.
Selamat dari kecelakaan
Suatu hari Fr. Wenan mengalami kecelakaan. Akibat kecelakan itu, kendaraan yang ditumpanginya hancur. Saat itu ia berpikir dirinya akan meninggal dunia. “Saat kecelakaan saya merasa waktu tiba-tiba berhenti. Saya berdoa: Tuhan, maaf ketika di dunia saya belum bisa melakukan banyak hal untuk-Mu. Mungkin saya akan meninggal. Saya mohon hapuskanlah dosa-dosa saya,” cerita Fr. Fenan, mengenang kecelakaan itu.
Ajaib. Fr. Wenan selamat dari kecelaakan naas tersebut. Bahkan tubuhnya tidak mengalami luka sama sekali. Tuhan menyelamatkan dirinya dari tragedi itu. Tuhan masih memberikannya kesempatan untuk hidup. Di situlah ia menyadari kebaikan Tuhan. Ia pun teringat kasih pengorbanan Yesus bagi umat-Nya.
Dari pengalaman itulah, Fr. Wenan menyadari kembali bahwa hidupnya adalah milik Tuhan. Setelah lulus kuliah dan menjadi dokter, ia melihat banyak orang meninggal dengan jiwa yang kosong. Ia selalu berdoa agar Tuhan menyelamatkan jiwa mereka. Ia pun berjanji untuk mengabdikan hidupnya kepada Tuhan.
Akhirnya tahun 2015 Fr. Wenan memutuskan masuk seminari. Keputusan tersebut rupanya ditentang keluarga besarnya. “Bahkan saudara-saudara memperkenalkan kerabatnya untuk dijodohkan dengan saya. Mama tampak sedih dan tidak menerima keputusan saya. Sedangkan papa cukup tegar, karena dulu papa juga sempat memiliki niat untuk menjadi bruder OFM,” tukas frater yang dalam waktu 4 tahun ini akan menjadi imam.
Tahun 2018 sampai 2019, Fr. Wenan bertugas pastoral di Gereja Salib Suci, Paroki Cilincing. Banyak pengalaman berkesan yang didapat selama bertugas di sana. Salah satu pengalaman paling berkesan baginya adalah ketika bertugas di panti imam. Ia bisa melihat wajah-wajah umat, dan itu membuat semangatnya terus tumbuh untuk menyapa mereka.
Menjelang hari terakhir bertugas di Salib Suci, ia berpesan agar orang muda semakin membina komunikasi dengan semua umat, termasuk dewan paroki. “Bagi kebanyakan orang, OMK adalah masa depan gereja, namun bagi saya orang muda adalah gereja itu sendiri. Saya berharap dengan selalu menjalin komunikasi, OMK akan memiliki kebijaksanaan layaknya orang dewasa yang berpengalaman, dengan roh semangat yang tetap muda.”
Selanjutnya, tugas yang menanti Fr. Wenan adalah melayani para pasien penderita HIV di RS. St. Carolus, Jakarta. “Gereja yang tumbuh adalah gereja yang saling mendoakan , umat mendoakan imam dan imam juga mendoakan umat,” katanya, tersenyum. Terima kasih Fr. Wenan. Selamat melayani di tempat yang baru. Mari kita doakan agar Fr. Wenan bisa segera merampungkan studinya dan ditahbiskan menjadi imam. (Elroy/Sep)
BERITA TERBARU
Panggilan menjadi imam bisa datang dari pengalaman-pengalaman sederhana. Hal itu yang dialami Fr. Wenan. Ketika duduk di kelas 4 SD, saat ia mengikuti Misa Harian, ia bertemu dengan salah satu pastor berperawakan gemuk dan berjanggut. Waktu bersalaman, si pastor menyentuhkan tangan Fr. Wenan ke janggutnya. Fr. Wenan terkesan dengan keramahan si pastor. Dari situ ia menilai bahwa seorang imam itu baik. Pengalaman sederhana itu rupanya membangkitkan keinginan dalam diri Fr. Wenan untuk menjadi imam
Dalam rangka mengisi waktu libur, 4 OMK Gereja Salib Suci dan 2 anggota Palapass melakukan
pendakian ke Gunung Kerinci, Jambi, Sabtu (9/6). Perjalanan dimulai dari Bandara Soekarno Hatta
menuju Bandara Sultan Thaha di Jambi. Dilanjutkan menempuh perjalanan darat selama 8 jam menuju
Paroki Kayu Aro, Jambi. Mereka bermalam di paroki tersebut.
Sabar Senanti: Tumpukan Sampah Penyubur Tanah
Tumpukan sampah masih menjadi masalah hampir di seluruh bagian dunia. Di Jakarta, sampah organik masih menduduki peringkat pertama, sebagai sampah yang paling sering dihasilkan warga (53,75% dari seluruh sampah). Untuk mengatasi hal itu, berbagai alternatif pengolahan sampah mulai didengungkan para pegiat lingkungan hidup. Salah satu di antaranya adalah komunitas Pecinta Alam Paroki Salib Suci (Palapass).